Jumat, 02 Desember 2011

Mengenal Toleransi Beragama

Tiap-tiap agama mempunyai hari raya. Pada prinsipnya, hari raya suatu agama dirayakan oleh masing-masing pemeluknya, sebab motivasi atau titik tolaknya adalah karena keyakinan atau kepercayaan keagamaan yang dianut.

Bertitik tolak dari paham yang demikian, maka di dalam perayaan suatu agama yang di dalamnya terdapat upacara ritual, tidaklah relevan apabila diundang orang lain yang menganut keyakinan atau kepercayaan agama lain untuk turut merayakannya.

Sebagai contoh dapat kita kemukakan tentang hari raya agama Islam. Seperti diketahui, hari raya dalam Islam ada dua, ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Kedua hari raya Islam itu dilakukan dalam bentuk sholat dan khutbah, yang sifatnya ta’abbudi/ritual.

Karenanya tidaklah wajar apabila umat Islam mengundang orang yang menganut agama lain untuk hadir bersama-sama merayakan hari raya itu. Kalaupun ada orang-orang yang dari agama lain ingin turut bersama-sama merayakan hari raya Islam dengan mengerjakan shalat hari raya karena hendak menunjukkan sikap toleransi /tasamuh, tentu setiap individu muslim yang arif akan mencegah yang demikian dengan sikap yang layak dan etis.

Harus dipahamkan perbedaan antara shalat “idul Fithri dengan pertemuan silaturrahim ‘Idul Fithri yang umum dikenal sebagai halal bi halal, atau memperingati satu Muharram, Maulid Nabi, dan Isra’ Mi’raj. Sikap jiwa yang demikian diharapkan pula diterapkan oleh saudara-saudara kita yang beragama lain, baik penganut agama Kristen, Budha, dan Hindu terhadap pemeluk agama Islam.

Apabila umat Islam diundang misalnya, untuk merayakan Hari Natal atau Tahun Baru yang di dalamnya ada pemujaan atas Yesus Kristus atau perayaan agama lainnya yang juga memiliki upacara ritual, tidaklah relevan dengan ajaran keberagamaanpun dengan sendirinya akan menempatkan pihak yang diundang dalam satu posisi yang sulit.

Kalau undangan itu dipenuhinya, akan bertentangan dengan norma-noram aqidah yang menjadi pegangan hidupnya., sebaliknya kalau tidak dihadiri, apalagi karena yang mengundang adalah pimpinan kantor,bos perusahaan, gubernur dan lain-lain, maka khawatir akan dicap atau dianggap tidak memiliki sikap hidup kerukunan atau toleransi.

Dalam hubungan ini perlu kita kutip petunjuk yang pernah dikeluarkan oleh eks Mentri Agama Alm. Munawir Syazali tentang pedoman penyiaran agama No.70 tahun 1978. Inti edaran tersebut, ialah peringatan hari besar keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan sekolah, perguruan tinggi pada dasarnya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk agamanya masing-masing.

Karenanya, hendaknya jangan ada satu pemikiran memberikan kwalifikasi Perayaan Bersama terhadap perayaan keagamaan pemeluk suatu agama. Bagi umat Islam, sudah ada pegangan dan petunjuk yang dituangkan oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 7 Maret tahun 1981, yang pada pokoknya kaum muslimin tidak diperbolehkan menghadiri perayaan Natal, berdasarkan ajaran aqidah Islam.

Pendirian yang demikian hendaknya jangan sampai diartikan sebagai tidak berusaha menciptakan kerukunan hidup umat beragama. Dalam rangka menciptakan kerjasama yang memberikan dorongan kerukunan hidup, masih banyak harihari besar bersama dimana penganut bermacam macam agama dapat menggalang dan menunjukkan kesatuan dan kerukunan itu.

Umpamanya,dalam merayakan tujuh belas Agustus, Hari Pahlawan, Hari Sumpah Pemuda, Hari Kesetia Kawanan Sosial, Hari Ibu, dan hari-hari lain yang sifatnya Nasionalis, bukan Agamis. Untuk menciptakan keterpaduan dan kebersamaan dari berbagai macam penganut agama, maka dapat dibentuk satu Panitia Bersama dalam merayakan dan menye-marakkan hari-hari nasioal itu yang pada gilirannya akan tercipta sikap kebangsaan dalam setiap diri, bukan justru merayakan hari-hari keagamaan yang dapat menimbulkan keyakinan abu-abu.

Dalam Islam, telah jelas dan baku dalam mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, walau berbeda keyakinan. Banyak ditemukan ayat-ayat Al Quran yang mengajarkan setiap individu muslim bersikap luwes/ fleksibelity, terbuka/open minded, berlapang dada/hostelity dan tasamuh/toleransi, seperti ayat pada muqaddimah di atas, surat Yunus ayat 99, surah al Ankabut ayat 46 dan lain-lain, meletakkan prinsip-prinsip bagaimana seharusnya seorang muslim memandang dan menghadapi pemeluk agama-agama lain.

Dari keterangan ayat-ayat Alqur’an itu terdapat sedikitnya empat prinsip; yaitu :
Pertama, menjauhkan sikap paksaan , tekanan, intimidasi dan yang seumpanya. Islam tidak mengenal tindak kekerasan. Dalam pergaulan dengan pemeluk agama-agama lain harus bersikap toleran/tasamuh.
Kedua, Islam memandang pemeluk agama-agamalain, terutama Ahli Kitab memiliki persamaan landasan akidah, yaitu sama-sama mempercayaai Allah Yang Maha Esa.

Islam mengaukui kebenaran dan kesucian Kitab Taurah dan Injil dalam keadaan orisinil/asli.
Ketiga, Islam mengulurkan tangan persahabatan terhadap pemeluk agama-agama lain, selama pihak yang bersangkutan tidak menunjukkan sikap bermusuhan dan memerangi.

Keempat, pendekatan/approach terhadap pemeluk agama-agama lain untuk meyakinkan mereka terhadap kebenaran ajaran Islam, haruslah dilakukan dengan diskusi yang baik, sikap sportif dan elegan. Jelaslah bahwa, toleransi dalam Islam itu ada batasbatasnya, ada ketentuan-ketentuan yang berdasarkan hukum menurut al Qur’an dan as Sunnah.

Rasulullah Muhammad SAW menunjukkan contoh yang jelas dan tegas tatkala beliau diajak oleh orangorang yang tidak beriman/kafir Quraisy untuk melakukan sikap kompromistis, yaitu sehari bersama-sama menyembah Allah, dan pada hari lainnya bersama-sama pula menyembah tuhan-tuhan mereka lata, mana dan uzza-tuhan-tuhan warisan nenek moyang mereka.

Maka pada saat itu Allah menurunkan surah al Kafirun “ Katakanlah (wahai Muhammad) wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah......” dan di ayat terakhir, “ Untuk kamu agama kamu, untuk saya agama saya”.

Karenanya dapat disimpulkan, bahwa mengenai perayaan keagamaan haruslah ditempatkan secara proporsional seperti yang diuaraikan, dan bagi umat Islam harus mampu meyakini dirinya bahwa turut serta dalam merayakan hari Natal atau mengucapkan ‘Selamat Natal dan Tahun baru’ berarti telah mencedrai aqidahnya. Artinya, dengan turut serta dalam upacara kebaktian Natal dan ucapan selamat, secara langsung ia telah mengakui adanya ilah-ilah/tuhan-tuhan lain selain Allah.

Padahal ia telah mengucapkan kalimat syahadat, dan kalimat itu terdiri dari dua frame (bingkai) yaitu; ‘asyhadu’, dan ‘la ilaha illallah’, dankalimat ‘asyhadu’secarabahasadapatbermakna sebagai berikut : 1. Asyhadu sebagai al i’lan, yang bermakna ‘pengumuman, pernyataan (statement), atau proklamasi.

Jika seseorang telah bersyahadat, maka itu artinya, ia telah menyatakan, mengumumkan, atau memproklamirkan dirinya sebagai pemeluk atau penganut Islam yang memiliki tata nilai tertentu. Pernyataan itu menunjukkan adanya penegasan dan perbedaan yang lain dari yang lain.

Jika sebuah negara misalnya, memproklamasikan negaranya, maka sejak itu pula negara itu memiliki lambang negara sendiri, lagu, dan bendera sendiri, batas wilayah dan undang-undang yang diberlakukannya sesuai dengan semangat dan cita-cita yang mendasari proklamasinya.

Demikian juga bila seseorang telah mengucapkan syahadat, pada dasarnya ia telah memproklamirkan dirinya bahwa ia telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, kecuali ikatan kepada Allah SWT, dan ia menjadi seorang muslim, “ isyhadu bianna muslimun“/ saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). Q.s.3.a 64.

2. Makna kedua adalah ‘al wa’du’ (janji). Maka apabila seseorang telah bersyahadat, hakikatnya ia sedang berjanji, yaitu, ia berjanji kepada dirinya, bahwa ‘tidak ada tuhan, melaikan Allah’, dan ikarar janji itu pun pernah ia ucapkan ketika di alam rahim. Q.s.7.a. 172.

3. Asyhadu juga bermakna ‘al qasam’ (sumpah), dan ucapan sumpah itu pada dasarnya mempertaruhkan kehormatan diri seseorang tentang apa yang disumpahkannya. Jika seseorang telah mengucapkan kalimat ‘asyhadu an la ilaha illallah’, itu artinya ia sedang mempertaruhkan kehormatan dirinya, bahwa ia memang tidak mengakui adanya tuhan-tuhan lain.

Hanya Allah yang ada dalam dirinya, di hati, di pikiran dan di lidahnya. Dari ketiga pengertian di atas akan membentuk satu makna yang utuh, yaitu bila seseorang yang telah bersyahadat, maka ia adalah orang yang memproklamirkan dirinya sebagai pribadi dengan identitas dan ciri khas untuk membuktikan sumpah dan janjinya yang telah ia ucapkan.

Dan secara otomatis ia pun berbeda dengan golongan agama lain, baik dalam hal niat, perbuatan (amalan), dan tujuan hidupnya. Toleransi beragama di negara kita ini jelas menuntut kejujuran, kebebasan jiwa, kebijaksanaan, dan tanggung

jawab. Wallahu a’lam.

oleh KH. Ihya’ Ulumuddin PP Al-Haromain Pujon, Malang
Manusia diciptakan Allah Subhanahu wata’ala bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal di antara sesama. Perbedaan di antara manusia adalah sunnatullah yang harus selalu dipupuk untuk kemaslahatan bersama. Perbedaan tidak melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (QS. Al Hujurat; 13).
Saling Menghormati Sesama
Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya.
Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.
Toleransi beragama berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya. Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Dari Sahabat Abdullah ibn Amr, sesungguhnya dia menyembelih seekor kambing. Dia berkata, “Apakah kalian sudah memberikan hadiah (daging sembelihan) kepada tetanggaku yang beragama Yahudi? Karena aku mendengar Rasulullah berkata, “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sampai aku menyangka beliau akan mewariskannya kepadaku.” (HR. Abu Dawud). Sesungguhnya ketika (serombongan orang membawa) jenazah melintas di depan Rasulullah, maka beliau berdiri. Para Sahabat bertanya, “Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi wahai Nabi?” Beliau menjawab, “Bukankah dia juga jiwa (manusia)?” (HR. Imam Bukhari). Sesungguhnya Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam berhutang makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan pakian besi kepadanya.” (HR. Imam Bukhari).
Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Dalam soal beragama, Islam tidak mengenal konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS. Yunus; 99-100). Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al Kahfi; 29)
Persoalan keyakinan atau beragama adalah terpulang kepada hak pilih orang per orang, masing-masing individu, sebab Allah Subhanahu wata’ala sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia oleh Allah Subhanahu wata’ala diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meski demikian, Islam tidak kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu mau beriman
Dalam sebuah Hadits, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki dari sahabat Anshar datang kepada Nabi, meminta izin untuk memaksa dua anaknya yang beragama Nasrani agar beralih menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu, sambil membacakan ayat yang melarang pemaksaan seseorang dalam beragama, yaitu Surah Al-Baqarah: 256:”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah; 256)
Dalam Aqidah Tidak Ada Toleransi
Jika dalam aspek sosial kemasyarakatan semangat toleransi menjadi sebuah anjuran, ummat Islam boleh saling tolong menolong, bekerja sama dan saling menghormati dengan orang-orang non Islam, tetapi dalam soal aqidah sama sekali tidak dibenarkan adanya toleransi antara ummat Islam dengan orang-orang non Islam.
Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tatkala diajak ber-toleransi dalam masalah aqidah, bahwa pihak kaum Muslimin mengikuti ibadah orang-orang kafir dan sebaliknya, orang-orang kafir juga mengikuti ibadah kaum Muslimin, secara tegas Rasulullah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk menolak tawaran yang ingin menghancurkan prinsip dasar Aqidah Islamiyah itu. Allah Ta’ala berfirman: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun; 1-6).
Dalam setiap melaksanakan sholat, sebenarnya ummat Islam telah diajarkan untuk selalu berpegang teguh terhadap aqidah Islamiyah dan jangan sampai keyakinan ummat Islam itu sedikit pun dirasuki oleh virus syirik, yaitu dengan membaca: “Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada yang menyekutui-Nya. Oleh karena itu aku diperintah dan aku termasuk orang-orang Islam.”
Kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang sah harus selalu diyakini oleh kaum Muslimin dengan kadar keimanan yang teguh. Sama sekali tidak dibenarkan bahwa masing-masing agama memiliki kebenaran yang relatif, sebagaimana yang sekarang sedang digembar-gemborkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) dan telah banyak merasuki jiwa generasi muda Islam. Bukankah Allah Subhanahu wata’ala telah menandaskan: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran; 85).
Siapa yang menginginkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat, tidak ada jalan kecuali beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan beribadah kepada-Nya. Kemuliaan itu tidak bisa dicapai dengan menyembah selain Allah Ta’ala. Kemuliaan hanya milik Allah semata. “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Fatir; 10).
Seputar Natalan dan Doa Lintas Agama
Kekuatan musuh-musuh Islam terus bergerak aktif untuk melemahkan aqidah dan keyakinan generasi muda Islam. Melalui propagandanya yang dikemas dengan sangat rapi, mereka berusaha menciptakan keraguan dalam keyakinan ummat Islam. Batasan-batasan aqidah Islamiyah yang sedari awal telah begitu jelas dan nyata, antara yang hitam dan putih, antara yang haq dan batil, antara keimanan dan kekufuran, direduksi oleh mereka menjadi abu-abu dan remeng-remeng (tidak jelas).
Salah satu hal yang status hukumnya dibuat mereka menjadi kabur dan remeng-remeng bahkan dirubah total adalah masalah seputar natalan dan mengucapkan selamat natal kepada orang-orang Kristen.
Mengucapkan selamat natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekadar basa-basi antar agama. Karena setiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing. Oleh sebab itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesedarhana yang dibayangkan. Sama tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Betapa dua kalimat Syahadat itu memiliki makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan, hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal hanya dua penggal kalimat yang siapa pun mudah mengucapkannya.
Demikian pula pengucapan tahni`ah (ucapan selamat) natal kepada Nashrani juga memiliki implikasi hukum yang tidak sederhana. Memang benar bahwa kaum muslimin menghormati dan menghargai kepercayaan agama lain bahkan melindungi mereka yang zimmi. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah manakah batasan hormat dan ridha dalam masalah ini. Antara hormat dan ridha jelas tidak sama. Ridha adalah suatu hal dan ridha adalah yang lain.
Kita memang harus menghormati Nasrani karena memang hal itu merupakan kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi karena
itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang namanya batasan yang jelas yang tidak boleh sekali-kali dikaburkan.
Bila kita tidak mengucapkan selamat natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari tentang toleransi dan kerukunan. Adanya orang Nasrani di Republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri di mana umat Islam menjadi kelompok minoritas. Bagaimana ummat Islam diteror, dipaksa, dipersulit, diganggu dan dianiaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi dimana pun umat Islam yang minoritas, baik Eropa, Amerika, Australia dan sebagainya.
Walhasil, tidak mengucapkan selamat natal itu justru toleransi dan saling menghormati akidah masing-masing. Dan sebaliknya, saling memberi ucapan selamat justru menginjak-injak akidah masing-masing karena secara sadar kita melecehkan akidah yang kita anut.
Demikian pula halnya dengan doa bersama lintas agama yang akhir-akhir ini juga makin marak. Bahwa toleransi yang ditolelir adalah bentuk toleransi dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Berdoa sejatinya bukan masalah sosial, melainkan justru merupakan intisari sebuah ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana sabda Nabi: Rasulullah bersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” (HR. Imam Tirmidzi).
Orang yang berdoa kepada Tuhannya, pasti dia meyakini bahwa Tuhannya adalah yang haq dan yang bisa mengabulkan permintaannya. Jadi, jika dalam forum doa bersama itu seorang Nasrani berdoa menurut keyakinannya dan orang Islam meng-amininya itu sama halnya orang Islam tersebut telah meyakini kepercayaan orang Nasrani, begitu juga sebaliknya. Wallahu a’lam bish showab.

Tinggalkan komentar yang membangun ya, dan terima kasih telah mengunjungi blog Aar_yha18 :)

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Mengenai Saya

Foto saya
Hi, I am the author of Aar_yha18!. I am an Interpreter and English Lecturer of a college in Solo, Indonesia and also a part-time blogger and fond of blogging, blog design, coding, & SEO passionately.

Join this blog :

  ©Aar_yha18 - Todos os direitos reservados.

Template by Dicas Blogger | Topo